Menikmati Proses
Tujuan dicapai melalui proses. Cita-cita diraih dengan perjuangan. Pelangi
diawali oleh tetesan hujan. Akibat lahir dari rahim sebab. Demikianlah
ketentuan Allah yang berlakukan di bumi tempat para hamba-Nya berpijak.
Banyak orang menilai bahwa kenikmatan itu adanya pada saat tercapainya
tujuan, sedangkan usaha dan perjuangan menuju tujuan merupakan fase kesulitan
dan kesengsaraan. Namun orang-orang terpilih justru menjadikan kenikmatan pada
proses perjuangan, dan tercapainya tujuan hanyalah merupakan kelanjutan dari
kenikmatan tersebut. It’s not about the destination it’s about the journey
(ini bukan tentang tujuannya, melainkan perjalanannya), demikian slogan yang
diusung Harley Davidson.
Dalam sebuah syair hikmah yang dinisbatkan kepada Imam asy-Syāfi’i
disebutkan:
سَافِرْ تَجِدْ عِوَضاً عَمَّن تُفَارِقه
وَانْصَبْ فَإِنَّ لَذِيْذَ الْعَيْشِ فِي النَّصبِ
Pergilah niscaya kau akan dapatkan ganti dari yang kau tinggalkan,
dan berjuanglah keras sebab kelezatan hidup itu ada dalam kepayahan.
Dari Abū Hurairah, Nabi s.a.w. bersabda,
وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوَدَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ فِي سَبِيْلِ
اللهِ فَأُقْتَلَ ثُمَّ أَغْزُوَ فَأُقْتَلَ ثُمَّ أَغْزُوَ فَأُقْتَلَ
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad di Tangan-Nya. Sungguh, aku ingin berperang di
jalan Allah lantas terbunuh, kemudian aku berperang lantas terbunuh lagi,
kemudian aku berperang lantas terbunuh lagi.” [Riwayat Muslim III/1495/1876.]
Dari Anas ibn Mālik, Nabi s.a.w. juga bersabda,
مَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ يَسُرُّهُ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى
الدُّنْيَا غَيْر الشَّهِيْدِ فَإِنَّهُ يُحِبُّ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الدُّنْيَا،
يَقُوْلُ: حَتَّى أُقْتَلَ عَشْرَ مَرَّاتٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ، مِمَّا يَرَى
مِمَّا أعْطَاهُ مِنَ الْكَرَامَةِ
“Tidaklah seorang pun dari kalangan penduduk surga senang untuk kembali ke
dunia kecuali orang yang mati syahid. Ia ingin kembali ke dunia, seraya
berkata, ‘Hingga aku terbunuh sepuluh kali di jalan Allah!’ Ini karena ia
melihat sebagian kemuliaan yang diberikan kepadanya.” [Riwayat al-Bukhāri
III/1037/2662, at-Tirmidzi IV/187/1661, dan lain-lain. Redaksi di atas
adalah dari riwayat at-Tirmidzi.]
Dengan demikian, kenikmatan itu bukan hanya didapat dari ganjaran setelah
mati syahid, namun pada proses menuju kesyahidan, berupa perang, luka dan
kematian juga terdapat kenikmatan yang tak terlukiskan.
Hal ini juga disinyalir oleh sebuah surah al-Qur’an yang sering dibaca dan
dihapalkan oleh kaum Muslim pada umumnya, yaitu firman Allah Ta`ālā:
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ * وَوَضَعْنَا عَنكَ وِزْرَكَ * ٱلَّذِيۤ
أَنقَضَ ظَهْرَكَ * وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ * فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْراً *
إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْراً * فَإِذَا فَرَغْتَ فَٱنصَبْ * وَإِلَىٰ رَبكَ
فَٱرْغَبْ
“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan Kami telah
menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami
tinggikan bagimu sebutanmu. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu
telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh
(urusan) yang lain, dan hanya kepada Rabbmulah hendaknya kamu berharap.”
[QS. Asy-Syarh (94): 1 – 8.]
Surah tersebut dimulai dengan kondisi kelapangan dada, yang merupakan salah
satu kenikmatan terbesar, dan ditutup dengan perintah untuk senantiasa bekerja
secara optimal dengan dibarengi harapan kepada Allah. Dengan menggabungkan awal
dan akhir surah dimaksud, kiranya mungkin dapat ditarik suatu pemahaman bahwa
kelapangan dada atau kenikmatan itu terdapat pada perjuangan atau kerja keras
secara optimal.
Bagaimana pun cara pandang kita terhadap proses dan perjuangan, apakah
sebagai kenikmatan ataukah kesengsaraan, perjuangan tetaplah merupakan suatu
keharusan yang apabila ditunda atau diabaikan maka akan menimbulkan keharusan
yang lebih besar di kemudian hari. Seseorang yang mengabaikan kerja keras di
masa muda harus membayar dengan kerja lebih keras di masa tuanya. Siswa yang
enggan belajar secara rutin setiap hari harus belajar lebih keras di musim
ujian atau ia tidak lulus. Demikianlah rumus yang berlaku dalam kehidupan.
Hakikat Islamic Wealth Management
Munculnya outlet-outlet berikut produk yang semakin bervariasi jasa
pelayanan keuangan Syariah ternyata secara perlahan memunculkan bentuk industri
keuangan Syariah baru, yaitu pengelolaan kekayaan pribadi secara Syariah
(Islamic Wealth Management). Atau dalam beberapa aspek pembahasan pengelolaan
kekayaan ini dikenal pula sebagai perencanaan keuangan keluarga secara syariah
(Islamic Financial Planning). Beragam portfolio keuangan Syariah berupa
deposito, reksadana, asuransi, pasar modal dan lain sebagainya menjadi pilihan
keluarga muslim kelas menengah keatas dalam pengelolaan harta mereka.
Perkembangan industri tersebut mampu melayani golongan masyarakat tersebut
terhadap kebutuhan aktifitas ekonomi sesuai dengan prinsip-prinsip syaria.
Kebutuhan tersebut muncul seiring dengan semakin merekahnya populasi muslim
menengah keatas Indonesia yang merefleksikan pula semangat keislaman yang
tumbuh diantara mereka.
Penghasilan cukup memadai dan tingkat saving yang semakin meningkat dikalangan keluarga-keluarga muslim, semakin merangsang industri jasa pengelolaan kekayaan, terlebih lagi kondisi tersebut didukung kondisi dimana pribadi-pribadi muslim tersebut semakin sempit memiliki waktu luang untuk mengurusi kekayaan mereka. Kehadiran pengelola kekayaan tentu saja akan sangat membantu kebutuhan segmentasi masyarakat ini. Bahkan pengelolaan kekayaan ini bukan hanya bersifat pada pengelolaan yang berorientasi profit tetapi juga orientasi sosial dan kebutuhan keluarga lainnya, seperti alokasi kekayaan untuk membayar kewajiban zakat, infak, sedekah atau wakaf. Selain itu pengeluaran kebutuhan keluarga seperti alternatif dan alokasi biaya sekolah Islami untuk anak, rekreasi,
Namun satu hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa praktek Islamic Wealth
Management atau Islamic Financial Planning sejauh ini belum mencerminkan
hakikat pengelolaan kekayaan dalam Islam. Nilai-nilai moral dalam akidah dan
akhlak, belum tergambar secara utuh dalam aktifitas industri baru tersebut.
Oleh sebab itu, selintas praktek Islamic wealth management terkesan sebatas
”pengelolaan harta para pemilik orang kaya untuk memelihara atau bahkan
menggandakan kekayaan mereka secara syariat/halal (jika tidak ingin
didefinisikan aktifitas penumpukan harta secara syariat)”. Kondisi ini tentu
akan mengkerdilkan makna Islamic wealth management terbatas hanya aktifitas
berorientasi materil, tanpa “ruh”, tanpa “jiwa” keislaman yang lebih kental
nuansa ibadah pada setiap aktifitas muamalah.
Dengan demikian, sebelum memahami secara lebih menyeluruh apa hakikat
Islamic wealth management dan menanamkan jiwa keislaman dalam muamalah-muamalah
ekonomi-keuangan, sebaiknya diidentifikasi dulu nilai-nilai moral Islam yang
berkaitan erat dengan harta. Beberapa nilai dari nasehat Nabi yang bisa
dijadikan pedoman adalah:
“Harta yang baik adalah harta yang berada di tangan orang shaleh”
“Sebaik-baik manusia adalah manusia yang memberikan manfaat bagi manusia lain”
“Sebaik-baik manusia adalah manusia yang memberikan manfaat bagi manusia lain”
Nilai moral yang disebutkan oleh hadits yaitu harta yang baik adalah harta
yang berada di tangan orang-orang shaleh, berarti terkait dengan wealth
management ini, pengelolaan harta pada dasarnya akan mencerminkan keshalehan
pelaku atau pemilik harta. Apa indikasinya? Indikasinya adalah harta tersebut
dikelola dengan niat, cara-cara dan tujuan untuk kepentingan Allah SWT semata.
Nilai moral kedua mungkin akan semakin mentekniskan definisi keshalehan, yaitu
nilai manusia yang paling baik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi
manusia lain. Terkait dengan wealth menagement, kekayaan sepatutnya menjadi alat
untuk menyebarkan atau memaksimalkan kemanfaatan pemiliknya. Dengan kata lain,
keshalehan seseorang akan semakin bisa diukur berdasarkan jumlah kekayaannya
yang mampu memberikan manfaat bagi lingkungannya. Artinya harta itu hanyalah
alat untuk mencapai tujuan yang lebih baik yaitu mewujudkan pemiliknya menjadi
manusia yang paling mulia.
Berdasarkan nilai-nilai moral Islam ini, orientasi manusia dalam mengelola
hartanya berdasarkan syariah Islam akan berorientasi utama pada dua hal. Yang
pertama, pemanfaatan harta tersebut digunakan untuk kelangsungan kehidupan diri
dan keluarganya, sebagai sebuah kebutuhan yang wajib berdasarkan kefitrahannya
sebagai manusia. Yang kedua adalah pemanfaatan harta tersebut bagi manusia
diluar keluarga, atau pemanfaatan yang bermotif pada amal shaleh sebagai alat
dalam rangka mendapatkan gelar kemuliaan dari Tuhan berdasarkan
standard-standard yang dikhabarkan juga oleh Tuhan.
Motif kebutuhan primer dan amal shaleh menjadi dua sasaran utama penggunaan
atau pemanfaatan harta. Karena lazimnya kebutuhan primer tersebut relatif tetap
bagi setiap individu, maka pertambahan kekayaan sepatutnya mempengaruhi
penambahan amal shaleh atau pemanfaatan kekayaan tersebut bagi manusia lain.
Dan tentu saja, paradigma ini akan mempengaruhi motivasi seseorang dalam
mencari kekayaan. Diyakini bahwa semangat mencari harta pada hakikatnya adalah
refleksi dari semangat memaksimalkan amal shaleh, bukan semangat memaksimalkan
penikmatan atasnya.
Lihatlah contoh-contoh yang disajikan oleh kehidupan manusia-manusia mulia
terdahulu, para Nabi dan Rasul, Sahabat dan para Wali, meskipun sejarah
mengenali mereka sebagai saudagar-saudagar yang melimpah perniagaannya, tetapi
sejarah tak luput memotret kehidupan keseharian mereka yang bersahaja. Mereka
mengambil apa yang cukup untuk hidup mereka dan selebihnya mereka ikhlaskan
untuk manusia lain, untuk ummat, untuk Tuhan mereka. Seseoarang diantara mereka
yang mulia itu pernah berkata: ”manusia di dunia itu seperti tamu, dan harta
mereka seperti pinjaman. Akhirnya tamu akan pergi dan pinjaman pasti
dikembalikan.”
Dengan begitu tujuan pengelolaan harta tidak dilimitasi pada kegiatan
penumpukan harta sesuai syariat tetapi lebih dari itu adalah pengelolaan harta
untuk memaksimalkan diri menjadi manusia yang terbaik di mata Allah SWT.
Orientasi kepemilikan harta tidak pada orientasi penikmatan atasnya tetapi
berorientasi pada pemanfaatan demi sebuah kebahagiaan sejati.
Disamping itu tanpa upaya penjagaan secara disiplin kepatuhan pada
prinsip-prinsip syariah termasuk nilai-nilai moral Islam, kecenderungan system
berikut aplikasi ekonomi – keuangan syariah akan mimicry dengan apa yang ada
dalam konvensional. Karena pelaku industri akhirnya hanya concern dengan
penyediaan produk dalam rangka pengelolaan kekayaan ataupun likuiditas yang
merujuk pada preferensi (lebih berorientasi pada produk halal daripada produk
Islami) para pemilik harta. Bahkan pada skala yang lebih luas prilaku
penyediaan produk oleh praktisi keuangan syariah di pasar tidak memperhatikan
hubungan atau implikasi sector kuangan Syariah terhadap aktifitas dan kinerja
perekonomian secara luas. Portfolio-portfolio sebagai produk-produk keuangan
syariah yang digunakan dalam pengelolaan kekayaan akhirnya hanya outlet
keuangan layaknya konvensional yang semakin memperpanjang labirin uang disektor
keuangan yang sedikit saja bermuara pada aktifitas produktif penciptaan barang
dan jasa (sebagai esensi tujuan ekonomi Islam). Dengan begitu, at the end of
the day, system ekonomi-keuangan Syariah kehilangan karakternya, kabur
fungsinya dan tak jelas maksud serta tujuannya.
Ketidakpedulian praktisi keuangan syariah terhadap substansi prinsip-prinsip
keuangan syariah apalagi pada nilai-nilai moral Islami-nya, ditambah dengan
tingkat edukasi dan preferensi masyarakat (sebagai pengguna produk-produk
keuangan syariah untuk kebutuhan pengelolaan dan perencanaan keuangan keluarga)
yang masih rendah, membuat aplikasi ekonomi atau keuangan syariah masih sebatas
aplikasi halal saja. Aplikasi ekonomi atau keuangan syariah yang kualitasnya
masih sangat rendah. Aplikasi keuangan yang hanya fokus pada aplikasi yang free
dari Riba atau judi (spekulasi) hemat saya adalah aplikasi minimum dari praktek
ekonomi – keuangan syariah, mungkin kita sebut saja levelnya ada pada aplikasi
ekonomi halal, tetapi jika kita ingin praktek ekonomi Islam naik pada level
selanjutnya yang lebih tinggi (“aplikasi ekonomi Islami”), etika dan
nilai-nilai prilaku ekonomi dalam Islam haruslah mulai diperkenalkan.
Prilaku-prilaku seperti mencari harta bukan untuk ditumpuk tapi untuk
memperluas kemanfaatan bagi masyarakat khususnya masyarakat dhuafa.
Prilaku-prilaku ini adalah prilaku yang berbekal dengan keyakinan pada janji
Tuhan bahwa Tuhan akan semakin menambah memperlancar rezeki bagi mereka yang
membelanjakan hartanya dijalan Tuhan.
Semoga kedepan, seiring dengan pembelajaran dan peningkatan keyakinan atau
pemahaman terhadap akidah dan akhlak, dilengkapi dengan pengetahuan dan skill
Syariah yang memadai, akan muncul manusia-manusia yang mampu memelihara ruh
Islam terjaga dalam aplikasi dan pengembangan ekonomi-keuangan Islam. Khusus
bagi Islamic Wealth Management atau Islamic Financial Planning, harapannya
adalah industri ini menjadi industri yang shaleh, yang memproduksi dan
menyebarkan keshalehan dan semakin membentuk serta melayani golongan
orang-orang kaya yang shaleh. Bismillah.
Persiapkan Bekal Masa Depan dengan Menabung
Apa yang akan terjadi di masa depan memang tidak dapat kita ketahui dengan pasti. “Sesungguhnya (Dialah) Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dihasilkannya besok. Dan, tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Luqmān/31: 34.) Namun demikian, kita diperintahkan untuk membuat perencanaan yang baik guna mengantisipasi apa yang akan terjadi. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah ia sajikan untuk hari esok; dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Hasyr/59: 18.)
Menabung adalah salah satu bentuk perencanaan dan tindakan antisipatif terhadap
kondisi yang tidak diharapkan di masa depan. Quran memberikan endorsement
terhadap tindakan menabung melalui kisah Nabi Yusuf AS: “Yusuf berkata:
‘Supaya kamu bercocok tanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa;
maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di bulirnya kecuali sedikit
untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit,
yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit),
kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan.’” (QS
Yūsuf/12: 47-48.)
Islam menganjurkan agar seseorang itu mempersiapkan bekal yang cukup bagi keluarganya sebelum ia meninggal dunia. Ini mengandung pesan implisit tentang urgensi menabung. Nabi SAW bersabda kepada Sa`d ibn Abī Waqqāsh,
Islam menganjurkan agar seseorang itu mempersiapkan bekal yang cukup bagi keluarganya sebelum ia meninggal dunia. Ini mengandung pesan implisit tentang urgensi menabung. Nabi SAW bersabda kepada Sa`d ibn Abī Waqqāsh,
إِنَّكَ إِنْ تَدَعُ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ
عَالةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ فِي أَيْدِيْهِمْ
“Sungguh, engkau meninggalkan ahli warismu dalam kondisi kaya itu lebih
baik dibandingkan engkau meninggalkan mereka dalam kondisi miskin yang
membutuhkan bantuan uluran tangan manusia.” (HR al-Bukhāri dalam Shahīh-nya
III/106/2591 dan Muslim dalam Shahīh-nya III/1250/1628.)
Menabung merupakan kutub yang berseberangan secara diametral sekaligus
penyeimbang terhadap sedekah. Tidak dipungkiri bahwa menabung merupakan bagian
dari tindakan menahan harta. Sedangkan, pada prinsipnya, tindakan menahan harta
merupakan hal yang dikecam oleh agama, berbeda dengan sedekah yang agama
menganjurkannya. Banyak sekali teks keagamaan yang berbicara mengenai hal
tersebut, di antaranya adalah sabda Nabi SAW:
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ
فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا وَيَقُولُ الآخَرُ
اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
“Tidak ada satu hari pun yang dilalui oleh seorang hamba melainkan pada
pagi harinya dua malaikat turun kepadanya. Salah satunya berkata: ‘Ya Allah,
berilah ganti bagi orang yang bersedekah.’ Sementara yang lainnya berkata: “Ya
Allah, hancurkanlah harta orang yang menahan hartanya.’” (HR al-Bukhāri
dalam Shahīh-nya II/522/1374 dan Muslim dalam Shahīh-nya
II/700/1010.)
Dengan demikian, teks-teks keagamaan yang berbicara tentang masalah sedekah
dan menabung—sebagaimana telah disebutkan sebagiannya di atas—harus didudukkan
secara komprehensif dan proporsional. Sedekah secara berlebihan dan dengan
tanpa skala prioritas juga tidak dianjurkan. Quran mengajarkan agar seseorang
tidak kikir, dan demikian juga sebaliknya, Quran juga mengajarkan agar
seseorang tidak terlalu pemurah. Allah SWT berfirman (yang artinya): “Dan
janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan janganlah
kamu terlalu mengulurkannya (terlalu pemurah), karena itu kamu menjadi tercela
dan menyesal.” (QS al-Isrā’/17: 29.)
Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan. Ini adalah prinsip universal (universal
value) yang berlaku secara umum. Karena itu, seorang yang beriman diminta
untuk mengambil posisi yang tepat dalam hal ini, yaitu berada di antara
tindakan menabung dan sedekah. Ia menabung sebagai bentuk perencanaan terhadap
masa depan dirinya dan keluarganya di satu sisi, namun ia juga bersedekah sebagai
bentuk tanggung jawabnya terhadap lingkungan sosial di sisi yang lain. Tidak
ada yang kontradiktif. Keduanya dapat dilakukan secara simultan. WaLlāhu
a`lam bish shawāb.
Langganan:
Postingan (Atom)