468x60 Ads



This is featured post 1 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 2 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 3 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 4 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 5 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.


This is an example of a HTML caption with a link.

Menikmati Proses

0 komentar

 Tujuan dicapai melalui proses. Cita-cita diraih dengan perjuangan. Pelangi diawali oleh tetesan hujan. Akibat lahir dari rahim sebab. Demikianlah ketentuan Allah yang berlakukan di bumi tempat para hamba-Nya berpijak.

Banyak orang menilai bahwa kenikmatan itu adanya pada saat tercapainya tujuan, sedangkan usaha dan perjuangan menuju tujuan merupakan fase kesulitan dan kesengsaraan. Namun orang-orang terpilih justru menjadikan kenikmatan pada proses perjuangan, dan tercapainya tujuan hanyalah merupakan kelanjutan dari kenikmatan tersebut. It’s not about the destination it’s about the journey (ini bukan tentang tujuannya, melainkan perjalanannya), demikian slogan yang diusung Harley Davidson.
Dalam sebuah syair hikmah yang dinisbatkan kepada Imam asy-Syāfi’i disebutkan:
سَافِرْ تَجِدْ عِوَضاً عَمَّن تُفَارِقه
وَانْصَبْ فَإِنَّ لَذِيْذَ الْعَيْشِ فِي النَّصبِ

Pergilah niscaya kau akan dapatkan ganti dari yang kau tinggalkan,
dan berjuanglah keras sebab kelezatan hidup itu ada dalam kepayahan.
Dari Abū Hurairah, Nabi s.a.w. bersabda,

وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوَدَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَأُقْتَلَ ثُمَّ أَغْزُوَ فَأُقْتَلَ ثُمَّ أَغْزُوَ فَأُقْتَلَ

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad di Tangan-Nya. Sungguh, aku ingin berperang di jalan Allah lantas terbunuh, kemudian aku berperang lantas terbunuh lagi, kemudian aku berperang lantas terbunuh lagi.” [Riwayat Muslim III/1495/1876.]

Dari Anas ibn Mālik, Nabi s.a.w. juga bersabda,

مَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ يَسُرُّهُ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الدُّنْيَا غَيْر الشَّهِيْدِ فَإِنَّهُ يُحِبُّ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الدُّنْيَا، يَقُوْلُ: حَتَّى أُقْتَلَ عَشْرَ مَرَّاتٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ، مِمَّا يَرَى مِمَّا أعْطَاهُ مِنَ الْكَرَامَةِ

“Tidaklah seorang pun dari kalangan penduduk surga senang untuk kembali ke dunia kecuali orang yang mati syahid. Ia ingin kembali ke dunia, seraya berkata, ‘Hingga aku terbunuh sepuluh kali di jalan Allah!’ Ini karena ia melihat sebagian kemuliaan yang diberikan kepadanya.” [Riwayat al-Bukhāri III/1037/2662, at-Tirmidzi IV/187/1661, dan lain-lain. Redaksi di atas adalah dari riwayat at-Tirmidzi.]

Dengan demikian, kenikmatan itu bukan hanya didapat dari ganjaran setelah mati syahid, namun pada proses menuju kesyahidan, berupa perang, luka dan kematian juga terdapat kenikmatan yang tak terlukiskan.
Hal ini juga disinyalir oleh sebuah surah al-Qur’an yang sering dibaca dan dihapalkan oleh kaum Muslim pada umumnya, yaitu firman Allah Ta`ālā:

أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ * وَوَضَعْنَا عَنكَ وِزْرَكَ * ٱلَّذِيۤ أَنقَضَ ظَهْرَكَ * وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ * فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْراً * إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْراً * فَإِذَا فَرَغْتَ فَٱنصَبْ * وَإِلَىٰ رَبكَ فَٱرْغَبْ

Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu sebutanmu. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Rabbmulah hendaknya kamu berharap.” [QS. Asy-Syarh (94): 1 – 8.]

Surah tersebut dimulai dengan kondisi kelapangan dada, yang merupakan salah satu kenikmatan terbesar, dan ditutup dengan perintah untuk senantiasa bekerja secara optimal dengan dibarengi harapan kepada Allah. Dengan menggabungkan awal dan akhir surah dimaksud, kiranya mungkin dapat ditarik suatu pemahaman bahwa kelapangan dada atau kenikmatan itu terdapat pada perjuangan atau kerja keras secara optimal.
Bagaimana pun cara pandang kita terhadap proses dan perjuangan, apakah sebagai kenikmatan ataukah kesengsaraan, perjuangan tetaplah merupakan suatu keharusan yang apabila ditunda atau diabaikan maka akan menimbulkan keharusan yang lebih besar di kemudian hari. Seseorang yang mengabaikan kerja keras di masa muda harus membayar dengan kerja lebih keras di masa tuanya. Siswa yang enggan belajar secara rutin setiap hari harus belajar lebih keras di musim ujian atau ia tidak lulus. Demikianlah rumus yang berlaku dalam kehidupan.

Hakikat Islamic Wealth Management

0 komentar

Munculnya outlet-outlet berikut produk yang semakin bervariasi jasa pelayanan keuangan Syariah ternyata secara perlahan memunculkan bentuk industri keuangan Syariah baru, yaitu pengelolaan kekayaan pribadi secara Syariah (Islamic Wealth Management). Atau dalam beberapa aspek pembahasan pengelolaan kekayaan ini dikenal pula sebagai perencanaan keuangan keluarga secara syariah (Islamic Financial Planning). Beragam portfolio keuangan Syariah berupa deposito, reksadana, asuransi, pasar modal dan lain sebagainya menjadi pilihan keluarga muslim kelas menengah keatas dalam pengelolaan harta mereka. Perkembangan industri tersebut mampu melayani golongan masyarakat tersebut terhadap kebutuhan aktifitas ekonomi sesuai dengan prinsip-prinsip syaria. Kebutuhan tersebut muncul seiring dengan semakin merekahnya populasi muslim menengah keatas Indonesia yang merefleksikan pula semangat keislaman yang tumbuh diantara mereka.

Penghasilan cukup memadai dan tingkat saving yang semakin meningkat dikalangan keluarga-keluarga muslim, semakin merangsang industri jasa pengelolaan kekayaan, terlebih lagi kondisi tersebut didukung kondisi dimana pribadi-pribadi muslim tersebut semakin sempit memiliki waktu luang untuk mengurusi kekayaan mereka. Kehadiran pengelola kekayaan tentu saja akan sangat membantu kebutuhan segmentasi masyarakat ini. Bahkan pengelolaan kekayaan ini bukan hanya bersifat pada pengelolaan yang berorientasi profit tetapi juga orientasi sosial dan kebutuhan keluarga lainnya, seperti alokasi kekayaan untuk membayar kewajiban zakat, infak, sedekah atau wakaf. Selain itu pengeluaran kebutuhan keluarga seperti alternatif dan alokasi biaya sekolah Islami untuk anak, rekreasi,

Namun satu hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa praktek Islamic Wealth Management atau Islamic Financial Planning sejauh ini belum mencerminkan hakikat pengelolaan kekayaan dalam Islam. Nilai-nilai moral dalam akidah dan akhlak, belum tergambar secara utuh dalam aktifitas industri baru tersebut. Oleh sebab itu, selintas praktek Islamic wealth management terkesan sebatas ”pengelolaan harta para pemilik orang kaya untuk memelihara atau bahkan menggandakan kekayaan mereka secara syariat/halal (jika tidak ingin didefinisikan aktifitas penumpukan harta secara syariat)”. Kondisi ini tentu akan mengkerdilkan makna Islamic wealth management terbatas hanya aktifitas berorientasi materil, tanpa “ruh”, tanpa “jiwa” keislaman yang lebih kental nuansa ibadah pada setiap aktifitas muamalah.

Dengan demikian, sebelum memahami secara lebih menyeluruh apa hakikat Islamic wealth management dan menanamkan jiwa keislaman dalam muamalah-muamalah ekonomi-keuangan, sebaiknya diidentifikasi dulu nilai-nilai moral Islam yang berkaitan erat dengan harta. Beberapa nilai dari nasehat Nabi yang bisa dijadikan pedoman adalah:
“Harta yang baik adalah harta yang berada di tangan orang shaleh”
“Sebaik-baik manusia adalah manusia yang memberikan manfaat bagi manusia lain”
Nilai moral yang disebutkan oleh hadits yaitu harta yang baik adalah harta yang berada di tangan orang-orang shaleh, berarti terkait dengan wealth management ini, pengelolaan harta pada dasarnya akan mencerminkan keshalehan pelaku atau pemilik harta. Apa indikasinya? Indikasinya adalah harta tersebut dikelola dengan niat, cara-cara dan tujuan untuk kepentingan Allah SWT semata. Nilai moral kedua mungkin akan semakin mentekniskan definisi keshalehan, yaitu nilai manusia yang paling baik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Terkait dengan wealth menagement, kekayaan sepatutnya menjadi alat untuk menyebarkan atau memaksimalkan kemanfaatan pemiliknya. Dengan kata lain, keshalehan seseorang akan semakin bisa diukur berdasarkan jumlah kekayaannya yang mampu memberikan manfaat bagi lingkungannya. Artinya harta itu hanyalah alat untuk mencapai tujuan yang lebih baik yaitu mewujudkan pemiliknya menjadi manusia yang paling mulia.

Berdasarkan nilai-nilai moral Islam ini, orientasi manusia dalam mengelola hartanya berdasarkan syariah Islam akan berorientasi utama pada dua hal. Yang pertama, pemanfaatan harta tersebut digunakan untuk kelangsungan kehidupan diri dan keluarganya, sebagai sebuah kebutuhan yang wajib berdasarkan kefitrahannya sebagai manusia. Yang kedua adalah pemanfaatan harta tersebut bagi manusia diluar keluarga, atau pemanfaatan yang bermotif pada amal shaleh sebagai alat dalam rangka mendapatkan gelar kemuliaan dari Tuhan berdasarkan standard-standard yang dikhabarkan juga oleh Tuhan.

Motif kebutuhan primer dan amal shaleh menjadi dua sasaran utama penggunaan atau pemanfaatan harta. Karena lazimnya kebutuhan primer tersebut relatif tetap bagi setiap individu, maka pertambahan kekayaan sepatutnya mempengaruhi penambahan amal shaleh atau pemanfaatan kekayaan tersebut bagi manusia lain. Dan tentu saja, paradigma ini akan mempengaruhi motivasi seseorang dalam mencari kekayaan. Diyakini bahwa semangat mencari harta pada hakikatnya adalah refleksi dari semangat memaksimalkan amal shaleh, bukan semangat memaksimalkan penikmatan atasnya.

Lihatlah contoh-contoh yang disajikan oleh kehidupan manusia-manusia mulia terdahulu, para Nabi dan Rasul, Sahabat dan para Wali, meskipun sejarah mengenali mereka sebagai saudagar-saudagar yang melimpah perniagaannya, tetapi sejarah tak luput memotret kehidupan keseharian mereka yang bersahaja. Mereka mengambil apa yang cukup untuk hidup mereka dan selebihnya mereka ikhlaskan untuk manusia lain, untuk ummat, untuk Tuhan mereka. Seseoarang diantara mereka yang mulia itu pernah berkata: ”manusia di dunia itu seperti tamu, dan harta mereka seperti pinjaman. Akhirnya tamu akan pergi dan pinjaman pasti dikembalikan.”

Dengan begitu tujuan pengelolaan harta tidak dilimitasi pada kegiatan penumpukan harta sesuai syariat tetapi lebih dari itu adalah pengelolaan harta untuk memaksimalkan diri menjadi manusia yang terbaik di mata Allah SWT. Orientasi kepemilikan harta tidak pada orientasi penikmatan atasnya tetapi berorientasi pada pemanfaatan demi sebuah kebahagiaan sejati.

Disamping itu tanpa upaya penjagaan secara disiplin kepatuhan pada prinsip-prinsip syariah termasuk nilai-nilai moral Islam, kecenderungan system berikut aplikasi ekonomi – keuangan syariah akan mimicry dengan apa yang ada dalam konvensional. Karena pelaku industri akhirnya hanya concern dengan penyediaan produk dalam rangka pengelolaan kekayaan ataupun likuiditas yang merujuk pada preferensi (lebih berorientasi pada produk halal daripada produk Islami) para pemilik harta. Bahkan pada skala yang lebih luas prilaku penyediaan produk oleh praktisi keuangan syariah di pasar tidak memperhatikan hubungan atau implikasi sector kuangan Syariah terhadap aktifitas dan kinerja perekonomian secara luas. Portfolio-portfolio sebagai produk-produk keuangan syariah yang digunakan dalam pengelolaan kekayaan akhirnya hanya outlet keuangan layaknya konvensional yang semakin memperpanjang labirin uang disektor keuangan yang sedikit saja bermuara pada aktifitas produktif penciptaan barang dan jasa (sebagai esensi tujuan ekonomi Islam). Dengan begitu, at the end of the day, system ekonomi-keuangan Syariah kehilangan karakternya, kabur fungsinya dan tak jelas maksud serta tujuannya.

Ketidakpedulian praktisi keuangan syariah terhadap substansi prinsip-prinsip keuangan syariah apalagi pada nilai-nilai moral Islami-nya, ditambah dengan tingkat edukasi dan preferensi masyarakat (sebagai pengguna produk-produk keuangan syariah untuk kebutuhan pengelolaan dan perencanaan keuangan keluarga) yang masih rendah, membuat aplikasi ekonomi atau keuangan syariah masih sebatas aplikasi halal saja. Aplikasi ekonomi atau keuangan syariah yang kualitasnya masih sangat rendah. Aplikasi keuangan yang hanya fokus pada aplikasi yang free dari Riba atau judi (spekulasi) hemat saya adalah aplikasi minimum dari praktek ekonomi – keuangan syariah, mungkin kita sebut saja levelnya ada pada aplikasi ekonomi halal, tetapi jika kita ingin praktek ekonomi Islam naik pada level selanjutnya yang lebih tinggi (“aplikasi ekonomi Islami”), etika dan nilai-nilai prilaku ekonomi dalam Islam haruslah mulai diperkenalkan. Prilaku-prilaku seperti mencari harta bukan untuk ditumpuk tapi untuk memperluas kemanfaatan bagi masyarakat khususnya masyarakat dhuafa. Prilaku-prilaku ini adalah prilaku yang berbekal dengan keyakinan pada janji Tuhan bahwa Tuhan akan semakin menambah memperlancar rezeki bagi mereka yang membelanjakan hartanya dijalan Tuhan.

Semoga kedepan, seiring dengan pembelajaran dan peningkatan keyakinan atau pemahaman terhadap akidah dan akhlak, dilengkapi dengan pengetahuan dan skill Syariah yang memadai, akan muncul manusia-manusia yang mampu memelihara ruh Islam terjaga dalam aplikasi dan pengembangan ekonomi-keuangan Islam. Khusus bagi Islamic Wealth Management atau Islamic Financial Planning, harapannya adalah industri ini menjadi industri yang shaleh, yang memproduksi dan menyebarkan keshalehan dan semakin membentuk serta melayani golongan orang-orang kaya yang shaleh. Bismillah.

Persiapkan Bekal Masa Depan dengan Menabung

0 komentar

Apa yang akan terjadi di masa depan memang tidak dapat kita ketahui dengan pasti. “Sesungguhnya (Dialah) Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dihasilkannya besok. Dan, tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Luqmān/31: 34.) Namun demikian, kita diperintahkan untuk membuat perencanaan yang baik guna mengantisipasi apa yang akan terjadi. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah ia sajikan untuk hari esok; dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Hasyr/59: 18.)

Menabung adalah salah satu bentuk perencanaan dan tindakan antisipatif terhadap kondisi yang tidak diharapkan di masa depan. Quran memberikan endorsement terhadap tindakan menabung melalui kisah Nabi Yusuf AS: “Yusuf berkata: Supaya kamu bercocok tanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan.’” (QS Yūsuf/12: 47-48.)

Islam menganjurkan agar seseorang itu mempersiapkan bekal yang cukup bagi keluarganya sebelum ia meninggal dunia. Ini mengandung pesan implisit tentang urgensi menabung. Nabi SAW bersabda kepada Sa`d ibn Abī Waqqāsh,
إِنَّكَ إِنْ تَدَعُ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ فِي أَيْدِيْهِمْ

Sungguh, engkau meninggalkan ahli warismu dalam kondisi kaya itu lebih baik dibandingkan engkau meninggalkan mereka dalam kondisi miskin yang membutuhkan bantuan uluran tangan manusia.” (HR al-Bukhāri dalam Shahīh-nya III/106/2591 dan Muslim dalam Shahīh-nya III/1250/1628.)

Menabung merupakan kutub yang berseberangan secara diametral sekaligus penyeimbang terhadap sedekah. Tidak dipungkiri bahwa menabung merupakan bagian dari tindakan menahan harta. Sedangkan, pada prinsipnya, tindakan menahan harta merupakan hal yang dikecam oleh agama, berbeda dengan sedekah yang agama menganjurkannya. Banyak sekali teks keagamaan yang berbicara mengenai hal tersebut, di antaranya adalah sabda Nabi SAW:

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا وَيَقُولُ الآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا

Tidak ada satu hari pun yang dilalui oleh seorang hamba melainkan pada pagi harinya dua malaikat turun kepadanya. Salah satunya berkata: ‘Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang bersedekah.’ Sementara yang lainnya berkata: “Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang menahan hartanya.’” (HR al-Bukhāri dalam Shahīh-nya II/522/1374 dan Muslim dalam Shahīh-nya II/700/1010.)

Dengan demikian, teks-teks keagamaan yang berbicara tentang masalah sedekah dan menabung—sebagaimana telah disebutkan sebagiannya di atas—harus didudukkan secara komprehensif dan proporsional. Sedekah secara berlebihan dan dengan tanpa skala prioritas juga tidak dianjurkan. Quran mengajarkan agar seseorang tidak kikir, dan demikian juga sebaliknya, Quran juga mengajarkan agar seseorang tidak terlalu pemurah. Allah SWT berfirman (yang artinya): “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (terlalu pemurah), karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS al-Isrā’/17: 29.)

Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan. Ini adalah prinsip universal (universal value) yang berlaku secara umum. Karena itu, seorang yang beriman diminta untuk mengambil posisi yang tepat dalam hal ini, yaitu berada di antara tindakan menabung dan sedekah. Ia menabung sebagai bentuk perencanaan terhadap masa depan dirinya dan keluarganya di satu sisi, namun ia juga bersedekah sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap lingkungan sosial di sisi yang lain. Tidak ada yang kontradiktif. Keduanya dapat dilakukan secara simultan. WaLlāhu a`lam bish shawāb.